Sultan
Thaha Syaifuddin
Pangeran Ratu Jayaningrat atau Sultan
Thaha Syaifuddin merupakan Sultan Jambi terakhir yang berpendirian teguh,
tegas, terbuka, lapang dada, berjiwa kerakyatan, dan bertaqwa kepada Allah.
Elsbeth Locher-Scholten dalam bukunya yang berjudul Kesultanan Sumatra
dan Negara Kolonial menggambarkan karakter Sultan Thaha sebagai
seorang yang mempunyai kepribadian kuat dan teguh dalam tindakan-tindakannya.
Bahkan Laging Tobias menggambarkan musuh politiknya sebagai sosok yang energik
dan bertemperamen panas, tetapi tulus. Walaupun tidak mudah percaya kepada
orang asing, dia menaruh kepercayaan besar pada orang-orang asing yang
membuktikan kejujuran mereka. Sikap lahiriahnya terhadap Belanda tegas,
diplomatis, dan yang paling penting konsisten antara pandangan dan tindakannya
(2008: 137).
Saat menaiki
tahta Kesultanan Jambi menggantikan kedudukan Sultan Abdurrahman Zainuddin yang
wafat tahun 1855, beliau mengeluarkan dikrit sebagai tindakan tegas terhadap
Belanda. Tindakan tegas itu
menunjukkan sikap permusuhan terhadap Pemerintah Hindia Belanda berupa tidak menerima dan membatalkan seluruh perjanjian tahun 1833 dan 1834 yang dibuat sultan-sultan sebelumnya. Perjanjian antara Kesultanan Jambi dengan Pemerintah Hindia Belanda merongrong kewibawaan Kesultanan Jambi dan menyengsarakan rakyat, seperti memungut cukai ekspor dan impor barang; berhak memonopoli penjualan garam; Jambi menjadi bagian dari Pemerintah Hindia Belanda; dan Pemerintah Hindia Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan dalam Kesultanan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat, kecuali jika ada penggelapan yang berkenaan dengan cukai.
Memahami dampak dari pembatalan seluruh perjanjian tahun 1833 dan 1834, Sultan Thaha Syaifuddin memerintahkan Pangeran Ratu Martaningrat berangkat ke Singapura menitipkan surat pada seorang pembesar Singapura untuk disampaikan kepada Sultan Turki tahun 1857. Tujuannya meminta pengakuan eksistensi Kesultanan Jambi di bawah kepemimpinan Sultan Thaha Syaifuddin dan bantuan senjata untuk menghadapi Pemerintah Hindia Belanda yang menduduki Jambi. Sebagai jawabannya, Kerajaan Turki menyerahkan bintang tertinggi kerajaan, tetapi tidak dapat memberikan bantuan militer karena jaraknya yang jauh dan blokade Pemerintah Belanda.
Menghadapi sikap keras, Pemerintah Hindia Belanda mengultimatum kepada Sultan Thaha dengan 1) memberi kesempatan kepada Sultan Thaha membuat perjanjian baru dengan Pemerintah Hindia Belanda; 2) apabila Sultan Thaha membangkang, Pemerintah Hindia Belanda akan menurunkan sultan dari tahta kesultanan dan akan menunjuk sultan baru yang menyetujui perjanjian baru; 3) sultan diwajibkan segera mengirimkan utusan kesultanan ke Batavia untuk memberi tanda kehormatan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda; 4) dan jika semuanya ditolak, Pemerintah Hindia Belanda akan mengirimkan pasukan perang untuk menaklukan Jambi. Ultimatum tersebut dijawab dengan kalimat: "Kesultanan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan kami akan mempertahankan dari penjajahan oleh siapapun dengan tetesan darah kami yang penghabisan".
menunjukkan sikap permusuhan terhadap Pemerintah Hindia Belanda berupa tidak menerima dan membatalkan seluruh perjanjian tahun 1833 dan 1834 yang dibuat sultan-sultan sebelumnya. Perjanjian antara Kesultanan Jambi dengan Pemerintah Hindia Belanda merongrong kewibawaan Kesultanan Jambi dan menyengsarakan rakyat, seperti memungut cukai ekspor dan impor barang; berhak memonopoli penjualan garam; Jambi menjadi bagian dari Pemerintah Hindia Belanda; dan Pemerintah Hindia Belanda tidak mencampuri urusan ketatanegaraan dalam Kesultanan Jambi dan tidak mengganggu adat istiadat, kecuali jika ada penggelapan yang berkenaan dengan cukai.
Memahami dampak dari pembatalan seluruh perjanjian tahun 1833 dan 1834, Sultan Thaha Syaifuddin memerintahkan Pangeran Ratu Martaningrat berangkat ke Singapura menitipkan surat pada seorang pembesar Singapura untuk disampaikan kepada Sultan Turki tahun 1857. Tujuannya meminta pengakuan eksistensi Kesultanan Jambi di bawah kepemimpinan Sultan Thaha Syaifuddin dan bantuan senjata untuk menghadapi Pemerintah Hindia Belanda yang menduduki Jambi. Sebagai jawabannya, Kerajaan Turki menyerahkan bintang tertinggi kerajaan, tetapi tidak dapat memberikan bantuan militer karena jaraknya yang jauh dan blokade Pemerintah Belanda.
Menghadapi sikap keras, Pemerintah Hindia Belanda mengultimatum kepada Sultan Thaha dengan 1) memberi kesempatan kepada Sultan Thaha membuat perjanjian baru dengan Pemerintah Hindia Belanda; 2) apabila Sultan Thaha membangkang, Pemerintah Hindia Belanda akan menurunkan sultan dari tahta kesultanan dan akan menunjuk sultan baru yang menyetujui perjanjian baru; 3) sultan diwajibkan segera mengirimkan utusan kesultanan ke Batavia untuk memberi tanda kehormatan kepada Gubernur Jendral Hindia Belanda; 4) dan jika semuanya ditolak, Pemerintah Hindia Belanda akan mengirimkan pasukan perang untuk menaklukan Jambi. Ultimatum tersebut dijawab dengan kalimat: "Kesultanan Jambi adalah hak milik rakyat Jambi dan kami akan mempertahankan dari penjajahan oleh siapapun dengan tetesan darah kami yang penghabisan".
Pemerintah Hindia Belanda yang merasa
terhina oleh sikap Sultan Thaha akhirnya memutuskan menyelesaikan masalah
Jambi dengan kekerasan. Pada tanggal 25 September 1858 wakil Pemerintah Hindia
Belanda di Jambi menerangkan dengan resmi bahwa tidak mengakui kedaulatan
Sultan Thaha dan menganggap Sultan Thaha sudah diturunkan dari tahta
kesultanan.
Ketika Belanda menduduki kraton, mereka mendapatinya kosong, karena Thaha dan pengiringnya sudah mengungsi ke perbatasan di dataran tinggi. Walaupun digulingkan, Sultan Thaha tetap menjadi Sultan Jambi dan dapat terus memerintah dari tempat lain di dataran tinggi. Dalam pengungsiannya Sultan Thaha membawa serta pusaka kesultanan, seperti Keris Si Ginjei dan rakyat wajib menaati perintah sultan. Di pengasingannya Thaha bersama pengikutnya tetap melakukan perlawanan dengan bergerilya yang merugikan Pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan Sultan Thaha berakhir pada tanggal 26 April 1907 dengan diserangnya dari segala penjuru tempat persembunyiannya di Betung Berdarah, Kabupaten Muara Tebo. Walaupun Sultan Thaha Syaifuddin gugur, perlawanan rakyat terus berlanjut hingga tahun 1907 dinyatakan oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa Jambi berhasil ditaklukan.
Untuk mengenang kegigihan perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin menentang hegemoni Pemerintah Hindia Belanda diwujudkan dalam sebuah patung sosok Sultan Thaha Syaifuddin di beberapa tempat, seperti di muka Kantor Gubernur Provinsi Jambi, di Museum Keprajuritan TMII Jakarta, dan di pintu utama Museum Perjuangan Rakyat Jambi. (Budi Prihatna).
Ketika Belanda menduduki kraton, mereka mendapatinya kosong, karena Thaha dan pengiringnya sudah mengungsi ke perbatasan di dataran tinggi. Walaupun digulingkan, Sultan Thaha tetap menjadi Sultan Jambi dan dapat terus memerintah dari tempat lain di dataran tinggi. Dalam pengungsiannya Sultan Thaha membawa serta pusaka kesultanan, seperti Keris Si Ginjei dan rakyat wajib menaati perintah sultan. Di pengasingannya Thaha bersama pengikutnya tetap melakukan perlawanan dengan bergerilya yang merugikan Pemerintah Hindia Belanda. Perlawanan Sultan Thaha berakhir pada tanggal 26 April 1907 dengan diserangnya dari segala penjuru tempat persembunyiannya di Betung Berdarah, Kabupaten Muara Tebo. Walaupun Sultan Thaha Syaifuddin gugur, perlawanan rakyat terus berlanjut hingga tahun 1907 dinyatakan oleh Pemerintah Hindia Belanda bahwa Jambi berhasil ditaklukan.
Untuk mengenang kegigihan perjuangan Sultan Thaha Syaifuddin menentang hegemoni Pemerintah Hindia Belanda diwujudkan dalam sebuah patung sosok Sultan Thaha Syaifuddin di beberapa tempat, seperti di muka Kantor Gubernur Provinsi Jambi, di Museum Keprajuritan TMII Jakarta, dan di pintu utama Museum Perjuangan Rakyat Jambi. (Budi Prihatna).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar